Rabu, 17 November 2010

Gus Dur (Abdurrahman Wahid)

Banyak sudah buku yang menulis tentang sejarah Gusdur. Sosok yang satu ini, memang memiliki perjalanan hdup, pemikiran, sepak terjang, dan sisi lain yang unik. Mengapa Gus Dur dapat menjadi sosok yang pemikirannya dianggap unik, “nyleneh”, kontroversial sekaligus menjadi sumber inspirasi dari berbagai generasi? Setidaknya ada empat alasan, yaitu sebagai berikut.

 

1. Latar Belakang Keluarga
Terlahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang-Jawa Timur, dengan nama Abdurrahman “Addakhil” yang artinya “Sang Penakluk”. Nama yang ternyata menjadi kenyataan di kemudian harinya. Gus Dur memiliki “trah biru”  di kalangan nahdiyin. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim adalah mantan Menteri Agama pertama.
Kakek dari ayahnyanya adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU sekaligus pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Sedangkan kakek dari ibunya adalah  K.H. Bisri Syamsuri ulama terpandang di kalangan NU yang juga pernah menjadi Rais ‘Aam PBNU.
Tak mengherankan bila Gus Dur kecil sudah seringkali mendengarkan pembicaraan bertopik politik-keagamaan di rumahnya yang selalu ramai didatangi para tokoh dari berbagai bidang profesi.
Dari pembicaraan tersebut, Gus Dur kecil dapat menyerap berbagai permasalahan yang menyangkut urusan umat, bangsa, dan negara. Hal ini terekam dan terinternalisasi dalam dirinya hingga dewasa. 
   

2. Multi Talent

Sejak kecil Gus Dur sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan berganda (multi talent). Ia menunjukkan bakat di bidang bahasa dan sastra, terlihat dari kegemarannya  membaca di saat anak sebayanya banyak menghabiskan waktunya untuk bermain. Berbagai buku, jurnal, majalah, koran, bahkan buku berat seperti filsafat pun telah ia lahap.
Tak hanya itu, ia merasa perlu belajar Bahasa Belanda dengan memanggil guru les privat ke rumahnya. Saat di SD ia juara pertama lomba karya tulis se-Jakarta. Bakatnya tersebut terus terasah hingga di kemudian hari Gus Dur terkenal sebagai penulis produktif yang buah pikirannya banyak tertuang di berbagai media massa. 
Ia juga memiliki bakat di bidang seni, bahkan sewaktu SD ia belajar seni musik klasik dari seorang guru berkebangsaan Jerman yang bernama Willem Buhl. Kecintaan dan minatnya di bidang seni menjadikan dirinya sempat menjadi ketua juri Festival Film Indonesia (1986-1987) dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta.
Di bidang olahraga pun Gus Dur kecil sudah terlihat tanda-tanda bakatnya. Ia piawai bermain bola, bahkan pandai mengulasnya. Tak mengherankan bila ia menjadi komentator dan kolumnis sepak bola saat dewasa.
Dari paparan di atas terlihat bahwa sosok Gus Dur ternyata sudah menunjukkan pribadi yang cerdas dan multi talent sejak kecil.

3. Akses Informasi

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur melanjutkan pendidikannya ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), sebuah sekolah yang dikelola oleh Gereja Katolik Roma yang sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler.
Di sini, dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur sudah mampu menguasai bahasa Inggris dan menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris, seperti buku karya Ernest Hemingway, John Steinbach, William Faulkner, dan banyak lagi yang lainnya.
Salah seorang gurunya yang bernama Sumatri adalah anggota Partai Komunis, ia pernah memberikan buku Lenin yang berjudul What is To Be Done. Sejak itu dimulailah pengembaraan intelektualnya di dunia Marxis-komunis, sejumlah buku “kiri” telah ia baca, seperti Das Kapital-nya Karl Marx, di usia SMP.
Jelas tergambar bahwa sejak remaja Gus Dur  memiliki akses informasi yang luas dari berbagai kalangan dan dari berbagai pemikiran, sehingga membentuk cakrawala berpikir dan  wawasan yang luas pula.

4. Persinggungan Kultural

Gus Dur pernah mondok di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah di bawah asuhan K.H. Chudhari. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan dunia sufi lengkap dengan ritual mistiknya, seperti ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali.
K.H. Chudhari juga memperkenalkan hiburan-hiburan yang tak umum diajarkan di dunia pesantren seperti gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya.
Selesai mondok di pesantren, Gus Dur melanjutkan kuliah di Universitas al-Azhar, Mesir kemudian di Universitas Bagdad di Irak. Mesir dan Irak pada saat itu adalah Negara Arab yang keras, otoriter, dan ultranasonalis. Paham pemikiran Pan Arabisme dan Nasionalis Arabnya Partai Baath di Irak juga tak luput dari kajian pemikiran Gus Dur.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur melanjutkan studinya ke McGill University di Kanada dengan mengambil jurusan kajian Islam. Gus Dur yang berlatar belakang pesantren saat itu justru belajar Islam dari para orientalis Barat yang sekuler. Sejak saat itu, warna pemikiran Barat yang sekuler, rasional, dan humanis ikut pula membentuk pemikiran Gus Dur.

Kesimpulan

Keempat alasan tersebut membentuk pandangan, cara berpikir dan masuk dalam pribadi Gus Dur tanpa ada yang dominan. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur seperti “nyleneh”, sulit dipahami, dan dinamis. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya telah menembus batas pemikiran banyak orang yang tidak memahaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar