Rabu, 17 November 2010

Iswahyudi Pahlawan Angkasa


Lahir di Surabaya pada tanggal 15 Juli 1918, Iswahyudi merupakan kadet pertama Sekolah Penerbang Adisutjipto. Hanya dalam waktu tiga minggu, Iswahyudi sudah mampu menerbangkan pesawat di Panasan, Solo. Pada tanggal 23 April 1946 terbang cross country dari Maguwo - Jakarta - Gorda - Teluk Betung - Branti bersama penerbang lainnya. Penerbangan heroik ini dilakukan dengan pesawat Cukiu. Kemudian pada tanggal 10 Juli 1946, bersama Adisutjipto, Abdulrachman Saleh, Husein Sastranegara, dan Imam Suwongso Wirjosaputro, melakukan terbang formasi lima pesawat Cureng dari Maguwo ke Tasikmalaya.
Iswahyudi Pahlawan Angkasa
Ketika untuk pertama kali pesawat Dakota VT-CLA mendarat di Maguwo (1947), Iswahyudi dan Adisutjipto merupakan orang pertama yang memperoleh kesempatan menerbangkan pesawat tersebut. Hanya butuh waktu tiga hari, putra pasangan Wirjomihardjo dan Issumirah sudah mampu menerbangkan Dakota VT-CLA dengan baik. Karena dedikasinya yang tinggi, anak kedua dari sembilan bersaudara ini ditunjuk sebagai Komandan Lanud Maospati, Madiun.

Tentu Iswahyudi tidak ragu mengemban jabatan, karena dia dikelilingi orang-orang yang tak kalah hebat pengabdiannya: Wiweko Soepono dan Nurtanio. Masih pada tahun 1947, sekali lagi Suryadarma mempercayakan jabatan komandan lanud kepada Iswahyudi. Kali ini lebih jauh, Danlanud Gadut Bukittinggi.

Iswahyudi berbakat besar sebagai penerbang. Sebelum masuk Kalijati, peniup saksofon dan pribadi yang dikenal ramah ini sempat mengikuti perkuliahan calon dokter di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Surabaya. Bahkan menurut buku "Mengenang Pahlawan Angkasa" (1967), Iswahyudi sudah mencapai tingkat IV ketika menjadi kadet Vrijwillige Vliegers Corps (VVC), Korps Penerbang Sukarela, Kalijati.

Iswahyudi, yang dikenal oleh Soejono di Tanjung Priok waktu akan diungsikan ke Australia saat Jepang menduduki Hindia Belanda, sudah mengantongi brevet penerbang dari Kalijati, lapangan terbang yang dibeli pemerintah Hindia Belanda dari NV Pamanukan en Ciasem lander seharga satu gulden pada tahun 1915. Selama pelarian di Australia, kemampuan terbangnya diasah di pendidikan lanjutan Sekolah Penerbang Australia. Namun menurut Suharnoko Harbani, selama pendudukan Jepang, pernah Iswahyudi disusupkan ke Jawa sebagai mata-mata Sekutu.
Soal yang terakhir ini diduga Soejono benar adanya, karena sebelum mereka diungsikan ke Amerika, intelijen Sekutu menanyakan pelarian asal Indonesia untuk diminta jadi mata-mata. "Makanya dalam perjalanan dari Melbourne ke San Fransisco, ketika singgah di Perancis, saya nggak lihat Iswahyudi," tutur Soejono. Wajar kalau kemudian Iswahyudi pura-pura tidak pernah bertemu Soejono ketika Wiryosaputro memperkenalkan Soejono yang berdiri di hadapannya. Sambil tertawa Soejono menceritakan peristiwa di hotel Tugu Yogjakarta itu, di mana semenit kemudian Iswahyudi berbisik di telinganya, "Jangan bilang-bilang dong, nanti Suryadarma tahu."
Dilihat dari kemampuan terbangnya, tak salah kala Adisutjipto dipercaya membuka sekolah penerbang di Maguwo, Iswahyudi dan juga Wirjosaputro, lulusan Kalijati, ditunjuk menjadi instruktur. "Pak Iswahyudi dan Pak Wiryo yang mengajar kita. Mas Cip, kan kepala sekolah, jadi biasanya hanya cek terakhir saja," jelas Sudarjono yang menjadi satu dari 28 kadet pertama sekolah penerbang Adisutjipto. Gugurnya Iswahyudi di Tanjong Hantu, benar-benar pukulan berat bagi Suryadarma. Karena di saat membutuhkan orang-orang berkemampuan tinggi, justru Tuhan berkehendak lain. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, nama almarhum diabadikan di Lanud Iswahyudi, Madiun, di mana dulu Iswahyudi sendiri menjadi komandannya (Lanud Maospati). Pengukuhan itu dilakukan bertepatan Hari Pahlawan ke 15, 10 November 1960.
Sumber : -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar