Beberapa hari lalu saya sempat baca suatu artikel konsultasi di tabloid Nova, lagi lagi topiknya soal selingkuh nih. Jadi tertarik untuk share terutama dengan rekan-rekan wanita yang mungkin saja ada yang mengalami atau memiliki masalah seperti yang ada dalam cerita konsultasi berikut. Mungkin saja ada semacam pencerahan atau bisa jadi rekan-rekan lebih memahami dan mewaspadai keadaan yang bisa jadi membuat semua semakin ruwet dan tidak terselesaikan.
Tanya : Saya guru dengan satu anak balita, menikah 6 tahun lalu. Saat menikah, usia saya 20 tahun. Tergolong muda, ya, Bu? Namun, karena saya pikir sudah mampu berumah tangga yang penuh dengan pahala itu, saya setuju untuk menerima pinangan. Kami pun bertunangan selama sebulan, hanya untuk mempersiapkan pernikahan kami.
Calon suami waktu itu bercerita banyak tentang mantan pacarnya (sebut saja I), dan apa saja yang mereka lakukan selama 5 tahun pacaran. Saya percaya dia sudah melupakan semuanya dan sudah bertobat atas apa yang dia lakukan bersama I dulu. Saya terima dia apa adanya, saya coba lupakan, walau ada keraguan apakah benar segampang itu dia melupakan I yang 5 tahun bersamanya. Lagipula, saya anggap dia berniat baik dengan berkata jujur tentang masa lalunya.
Tak lama setelah pernikahan, saya mengandung. Suami sepertinya benar–benar melupakan I. Namun, pada saat saya hamil 4 bulan, suami selalu membangga-banggakan seorang wanita lain (sebutlah R). Saya curiga, kok suami sampai begitu simpatiknya ke R, ada apa ini? Saya coba cari tahu kebenaran kecurigaan saya, dan ternyata benar! Saya memergokinya sedang memboncengkan R. Saya tanya dia baik–baik, tapi dia membantah. Saya makin curiga, Bu. Dengan berbagai cara, saya bujuk dia amenceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya suami bilang dia memang menyukai R karena nyambung, sopan, berpendidikan, cantik pula.
Duh, Bu, lemas seluruh tubuh dan persendian ini. Apalah saya ini, cuma tamatan SMU yang mujur bisa cepat kerja, tidak secantik R pula. Saat itu saya kasih 2 pilihan ke suami: terus dengan saya atau bercerai. Dia tidak mau cerai, katanya cuma selingkuh dan akan melupakan R. Kok, enteng sekali, ya Bu? Dia bilang khilaf. Namun, karena sayang, saya maafkan dia, juga demi calon anak yang saya kandung.
Yang makin menyakitkan, mertua ikut campur dan malah menyudutkan saya. Sudah jelas anaknya yang berkhianat, eh dia malah mengatakan saya istri yang tidak pengertian, kurang pergaulan, dan segala macam kata–kata bernada menghina. Padahal, dulu dia memohon saya supaya menerima pinangannya. Dia bilang dia suka saya yang berjilbab, keluaran pesantren pula. Waktu itu saya tersanjung dan bertekad membantu suami ke jalan yang lebih baik. Ternyata, batin saya harus terluka untuk kedua kalinya.
Tak lama kasus R lewat, suami ada main lagi dengan seorang wanita bernama W. Kali ini alasannya sangat menyakitkan. Katanya, ”Kasihan kalau W pulang sendiri. W punya banyak masalah dan hanya pada saya dia mau cerita.” Duh, lalu dianggap apa saya ini? Tidakkah dia kasihan pada istrinya yang selalu was–was menunggunya pulang? Suami W punya pekerjaan yang membuatnya seringkali meninggalkan keluarga ke luar kota. Suami akhirnya mengaku sering menemani W pulang, itu pun setelah susah payah saya menyelidiki lewat satpam perusahaan suami. Kata satpam, suami saya sering pulang jam 6 sore bersama W. Seingat saya, suami memang sering terlambat pulang.
Sebetulnya saya masih cinta dan sayang, Bu. Saya ingin keluarga sakinah, mawwadah, warrohmah. Tapi, saya tak tahan terus jadi istrinya. Salahkah jika saya meminta cerai? Beberapa bulan ini saya tidak menanggapi ulah suami. Saya sangat bingung, kantor suami sudah dijual ke perusahaan asing, dan menurut kabar ia akan dipindahkan ke salah satu cabang atau mungkin malah di-PHK. Saya takut anak saya tahu perihal ini, karena anak saya pandai sekali. Ia paham ayah-ibunya tengah menghadapi masalah serius.
Tolong bantu saya, Bu. Saya sangat bingung, saya takut GILA, tambahan pula saya sakit-sakitan. Saya masih ingin hidup untuk merawat anak saya. Tolong saya, ya, Bu… Terima kasih
Jawab : Anda tidak buruk rupa, tetapi tentu saja tidak genit dan agresif seperti laiknya perempuan–perempuan penggoda yang biasanya tahu benar bagaimana membuat laki-laki merasa harus jadi pahlawannya. Kegombalan model ini punya ciri khas, Bu. Si perempuan biasanya tampil seolah tak berdaya, padahal cengkeramannya kuat, membuat laki-laki sukar melepaskan diri begitu sudah terlibat dengannya. Bisa karena suaminya galak dan suka melakukan KDRT, atau suaminya tak bekerja sehingga dia yang banting tulang tetapi tak dihargai. Bisa pula terus menerus mengatakan, ”Coba saya punya suami seperti kamu ya, perhatian, peduli kalau saya sedang sedih. Suami saya sih, sibuk dengan dirinya sendiri.”
Kalau mereka sekantor, biasanya ia berusaha bertemu dan bertukar kata di penghujung jam kerja, sehingga si laki-laki merasa harus jadi pahlawan dengan mengantarnya pulang sekaligus. Sebenar-benarnya, pahlawan atau tukang ojek, begitu, kan? Masih lumayan ojek, dapat uang.
Benar, Bu, yang dikulik perempuan jenis ini adalah perasaan superior, power, dan kemampuan melindungi perempuan lemah dari laki-laki korbannya. Diberi sedikit bumbu air mata, sesenggukan menangis, lalu tidak bisa makan banyak, sehingga sang pahlawan takut kalau dia jatuh sakit. Tergantung kesigapan sang istri, cerita ini bisa berlanjut dengan pertemuan habis jam kerja. Mula-mula cerita sambil berboncengan di atas motor, makan bareng, lalu bersandar di bahu sambil cerita, dan akhirnya pada pertemuan berikutnya sudah bisa bobo bareng.
Saya katakan istri perlu sigap, karena suami jenis ini seperti punya kelainan generatif, yang terkait dengan sikap dan perilaku. Ibarat diabetes begitu, Bu, bukan penyakit, kan? Diabetes adalah sebuah kondisi dimana organ di dalam tubuh sudah berada dalam keadaan tidak sempurna bekerja, sehingga yang empunya badan yang harus menyesuaikan diri dengan menghindar dari faktor resiko. Maka, berharap sembuh sebenarnya mustahil. Yang ada, tubuh dikelola agar menyesuaikan diri dengan kondisi diabetik tadi.
Maka, istri yang sigap akan peka mengenali gejala dimana suaminya sedang punya WIL, aktif menyebar intel yang sehebat Densus 88, dan ia sendiri juga harus punya kemampuan interogasi yang bisa membuat suaminya mengaku. Padahal, ini pastilah kerja berat untuk hati, bukan? Makin pandai mengorek cerita suami, makin sakit hati biasanya si perempuan, karena makin nyata kebrengsekan suaminya. Lebih pedih lagi, karena akan kita temukan kok, bisa-bisanya dia sebegitu penuh perhatian meladeni WIL-nya, mendengarkan, peduli dan telaten, sementara pada istri sendiri super cuek dan dzalim, pula.
Nah, dalam hal suami, peluang untuk sembuh total rasanya berat, ya, Bu. Apalagi keputusan untuk menikah yang dikemas sebagai itikad baik, yaitu mengubah diri, pada hemat saya kurang didukung oleh telah adanya lebih banyak faktor perekat perkawinan karena perkenalan yang singkat. Dan sayangnya, Anda yang lugu dan baik itu yang punya niat baik. Sampai saat ini, suami belum berhasil membuat Anda yakin dan percaya bahwa penyakit selingkuhnya sudah sembuh, bukan?
Istri sigap ini juga perlu memiliki tekad sangat besar untuk mempertahankan perkawinannya, apa pun yang terjadi dan seberat apa pun kadar perselingkuhan yang bakal dilakukan suami. Sayangnya, tekad besar ini biasanya tak berjalan selaras dengan daya dukung yang memadai. Mertua? Sekarang saja sudah jelas keberpihakannya. Bukan pada tegaknya keluarga yang Islami, tetapi yang penting membenarkan anaknya.
Istri yang terus diselingkuhi suami, pelan tapi pasti, rasa percaya dirinya akan mengalami erosi. Dia akan cenderung menutup diri, menjadi pribadi yang sensitif dan suka marah. Merasa lingkungan tidak bisa dipercaya, dan lebih buruk lagi kalau ia lalu melampiaskan semua emosi negatifnya pada anaknya. Ia lalu jadi ibu yang galak, suka mengkritik tetapi pada saat yang sama juga mencari kekuatan pada anaknya.
”Masih belum cukup ya, Mama dijahati ayahmu? Kalau bukan karena kamu, Mama sudah cerai, Nak. Makanya yang sayang sama Mama, nurut, ya? Mama marah karena kamu tidak sayang pada Mama…” Wah, kalau anak sering mendengar kalimat sejenis ini, ia pun akan jadi anak yang agresif, atau sebaliknya, pasif, tidak percaya diri, dan tertutup pula.
Jadi, silakan Anda berhitung, apakah ada sisi-sisi positif dari perkawinan Anda yang bisa dijadikan pijakan untuk menopang kelangsungan keluarga, termasuk kelangsungannya bekerja menafkahi keluarga.
Saya ingin berbagi pengalaman seorang teman yang sudah belasan tahun menikah dengan suami yang memenuhi semua unsur pembuat istri menderita. Selalu punya WIL, tak pernah memberi uang belanja, mertua dan ipar tak menghargai dirinya, karier mandek karena tidak punya komitmen terhadap pekerjaan, tapi bisa sampai punya 3 anak. Itulah Bu, kadang lugu hanya beda tipis dengan (maaf) dungu. Terlalu lugu berharap bahwa suami akan pelan-pelan tumbuh cintanya sebesar cinta kita, ternyata bisa sangat menyesatkan!
Anda tahu apa yang memicu kesadaran istri ini untuk bertekad minta cerai? Anak-anaknya! Mereka sudah mulai bisa berpikir dan menganalisa, mereka juga pandai-pandai seperti anak Anda, dan akhirnya merekalah yang tidak tahan untuk mengatakan “Mama mengharap apa sih, dari Papa? Yang kita makan dan yang membuat kita bisa sekolah kan, jerih payah Mama? Jangan tutupi terus deh kebobrokan Papa di depan kita.”
Dan teman yang selalu sigap selama hidupnya itu cepat membereskan masalahnya. Katanya, “Aduh, Mbak Rieny, baru terbilang bulan dan belum genap setahun, beratku naik 5 kilogram, kerjaku lebih fokus sehingga bonusku melesat jauh. Aku sudah bisa membawa anak-anak liburan ke Singapura dan Bangkok. Ternyata, aku punya potensi lumayan, ya, Mbak?” Padahal, suaminya selalu bilang bahwa dia tak bisa survive tanpa dia.
Ya, inilah keburukan paling buruk dari para penyelingkuh. Untuk membenar-benarkan alasannya berselingkuh, ia rajin mengkondisikan pemahaman-pemahaman pada sang istri bahwa ia LAYAK diselingkuhi, karena berada di bawah standard keinginan suami. Enak saja! Memangnya lelang pengadaan barang di kantor?
Nah, Bu, pelihara dan jaga rasa percaya diri, ya? Cerai atau tidak cerai, Anda sangat berharga, terhormat, dan memang handal. Maka jangan izinkan sedetik pun, siapa pun, termasuk suami membuat Anda merasa sebaliknya dari ini?
Salam sayang. Dra. Rieny Hasan# Tabloid NOVA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar